Kamis, 24 Oktober 2013

kerajaan colamandala

ketika Paus Urbanus pada 25 Nopember 1095 menyerukan agar   seluruh     penduduk Eropa  bersatu untuk mengusir Turki Saljuk dari Jerusalem, kita tidak pernah tahu bahwa seruan tersebut berpengaruh besar dalam kehidupan hampir ¾ belahan dunia.

Seruan Paus itu begitu besar pengaruhnya, sehingga bangsa-bangsa Eropa, mulai dari para bangsawan, para kesatria, para pedagang dan rakyat kecil menghentikan perang diantara sesamanya dan bagaikan gelombang laut datang menyerbu Jerusalem. “Perang suci” itu diperkirakan tidak memakan waktu lama. Ternyata dugaan meleset jauh, perang berlangsung  begitu lama, (1096-1297), menelan ratusan ribu nyawa dan harta benda yang tidak terhingga.
 Salah satu akibatnya yang menyangkut hidup orang Batak. Sebagai     akibat  ditutupnya jalur sutera bagi pedagang-pedagang Eropa, komoditi      yang berasal dari Hindia Timur yang selama ini mereka peroleh dari    pedagang-pedagang Arab menjadi hilang. Untuk itu, mereka terpaksa mencarinya sendiri ke Hindia Timur dan salah satunya ialah lewat jalur laut. Buku IL MILLIONE  karya Marco Polo yang memuat kisah perjalanan Marco Polo ke tanah Hindia,  menjadi buku yang laris manis, diterjemahkan dalam berbagai bahasa, karena dalam buku ini dijelaskan secara terperinci      perjalanan Marco Polo, mulai dari jalur sutera, hingga sampai ke China dan  kepulangannya lewat jalur laut kembali ke Eropa (Venice). Buku inilah yang mengilhami pelaut-pelaut Spanyol, Portugis, Inggeris dan Belanda,    mengarungi lautan untuk mencari rempah-rempah yang banyak dibutuhkan oleh bangsa-bangsa di Eropa.
 Dalam pelayaran ke Hindia Timur lewat Tanjung Pengharapan, mereka melewati Samudra Hindia yang terkenal dengan ombaknya yang sangat ganas, apalagi bila bertepatan dengan berhembusnya angin monsoon. Karena deraan ombak yang ganas ini para pelaut membutuhkan satu tempat untuk istirahat dan sekaligus mencari persediaan air tawar. Pelaut-pelaut dari Inggeris menemukannya di sebuah pulau yang sekarang kita kenal dengan Ceylon. Mereka meng-aneksasi pulau ini dan disepanjang pantai didirikan loji (benteng).  Inilah awal Inggeris menjajah Ceylon yang dahulunya bernama Colamandala (Coromandel), sehingga hubungan negeri ini dengan pedagang-pedagang  dari India Selatan yang ada di Barus menjadi terputus. Hal yang sama dilakukan oleh oleh pelaut-pelaut Belanda setiba di Teluk Jakarta. Sejumlah loji didirikan untuk menghalau pelaut-pelaut asing bila mencoba mendarat di teluk Jakarta. Dan penjajahan Belanda atas Nusantara dimulai dari pendirian loji tersebut.
Barus, sudah lama menjalin hubungan dengan Kerajaan Colamandala, suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan nama Coromandel atau Seilon (Ceylon) sekarang. Kerajaan ini terletak di India Selatan dan didirikan oleh Rajadhiraja I. Dahulu  pelabuhan laut di Colamandala sangat ramai  dikunjungi oleh  pedagang-pedagang dari Arab, Parsi, Gujarat dan Cina. Dari sana mereka membawa dagangan mereka ke Timur Tengah dan juga ke  Afrika khususnya Mesir. Ketika Rajendra Coladewa menjadi penguasa di Coromandel, untuk memastikan pasokan komoditas dari Nusantara, dia mengirimkan armada untuk melakukan penyerangan terhadap kerajaan Sriwijaya. Barus, sebagai kota pelabuhan, juga ikut diserang. Karena tujuan utamanya hanyalah untuk mengamankan lalu-lintas perdagangan ke India Selatan, tidak satu pun wilayah yang diserangnya ini dirusak atau dikuasai. Mereka lebih banyak menempatkan pedagang-pedagang di daerah-daerah pelabuhan tersebut dengan maksud untuk mengumpulkan sejumlah komoditas yang akan dikirimkan ke Colamandala.
Akan tetapi, kerajaan Colamandala kemudian ditaklukkan oleh Inggris.    Hal ini menyebabkan hubungan pedagang-pedagang dari India Selatan ini terputus dengan negeri leluhurnya. Karena takut pulang, mereka memilih  hidup bersama dengan penduduk pribumi di Barus. Sementara itu, seorang primus orang Batak di Barus ditabalkan menjadi raja dengan gelar Sori Mangaraja. Sori Mangaraja lebih berfungsi menetapkan aturan-aturan yang dimusyawarahkan bersama primus-primus lain. Orang-orang Tamil sendiri lebih memilih untuk  menjadi guru yang memberi nasihat-nasihat kepada Sori Mangaraja. Gelar “raja” yang diberikan kepada Sori Mangaraja ini diadaptasi dari gelar sri maharaj yang lazim digunakan di Colamandala.
Untuk melengkapi gelar yang diberikan, kepada raja diberikan suatu keris berhulu kepala gajah (ganesha sebagai lambang kebijaksanaan) yang dikenal dengan nama piso gaja dompak. Sebagai  mahkota, diberikan ikat kepala diberi nama sende huliman. Pakaian kebesaran, diberi ulos yang terbuat dari sutera   yang bernama tumtuman sutora malam. Juga sebuah tombak diberikan sebagai senjata, dengan nama sitonggo mual. Untuk tempat duduk sang raja, diberikan satu tikar berlapis tujuh, yang lapis ketujuhnya dibalut emas (kaomasan).
Raja Sori Mangaraja mulai memberlakukan banyak aturan bagi orang-orang yang berdagang di Barus. Untuk setiap barang yang diperdagangkan   dikenakan pajak. Begitu pula, tempat-tempat berdagang dikenai pajak bumi yang dahulu dikenal dengan nama tombuk tano. Aturan-aturan lain juga diberlakukan, termasuk yang menyangkut hubungan antar-kelompok yang diatur melalui perkawinan. Adanya larangan perkawinan dalam satu kelompok,  menyebabkan terciptanya satu pola perkawinan (marriage pattern), dimana  perkawinan yang ideal adalah antara putera seorang ibu, dengan anak perempuan  saudara laki-lakinya (mother’s brother daughter to, brother’s mother son marriage – perkawinan antara seorang puteri dengan putera saudara perempuan ayah). Lewat perkawinan ini, terjalin satu hubungan antara clan pemberi anak perempuan (hula-hula) dan clan penerima anak perempuan (boru)- satu hubungan yang  asymmetrical comnubium. Hubungan ini berkembang, menjadi suatu sistem kekerabatan dan untuk  menjaga agar hubungan antar-kelompok  berjalan dengan harmonis, diciptakan berbagai ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing kelompok.  
 Aturan-aturan ini berpedoman pada suatu pola,  yang disebut sebagai dalihan na tolu. Sistem kekerabatan yang tercipta akibat perkawinan ini  dipegang kuat oleh seluruh puak Batak dimanapun dia berada dan puak  apapun dia. Inilah yang menjadi suatu missing link (mata rantai terputus) yang selama ini belum pernah terpecahkan: Mengapa seluruh puak-puak Batak menganut sistem kekerabatan yang sama, apakah dia puak Toba, Mandailing, Karo, Pakpak dan Simalungun. Dipastikan bahwa seluruh puak Batak, karena diikat oleh prinsip kekerabatan yang sama, mempunyai satu garis keturunan yang sama. Tetapi, pada generasi ke berapa dan kapankah sesungguhnya    puak-puak Batak ini berpisah dan menjadi puak-puak tersendiri ?
Dengan kata lain, walapun seluruh puak Batak menganut sistem kekerabatan yang sama yaitu dalihan na tolu, yang pada masing-masing puak diucapkan  berbeda, mereka  tidak dapat menjelaskan sejak kapan aturan-aturan ini diberlakukan. Orang hanya tahu akibat pelanggaran terhadap aturan tersebut dari berbagai cerita, seperti cerita tentang Si Porang ni Aji yang menjadi batu ngungu (batu bisu) di Dolok Imun atau cerita tentang Si Aji Donda Hatahutan yang menjadi tongkat tunggal panaluan. Keduanya adalah contoh, akibat yang dialami seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap aturan perkawinan dengan melakukan perkawinan sedarah (incest), yang sangat dilarang oleh prinsip dalihan na tolu. Karena itu, ketika Sariburaja terusir dari dari Sianjur Mula-mula dan Inar Naiborngin terusir dari Si Ogung-ogung, hal itu terjadi karena aturan yang melarang perkawinan dalam kelompok sendiri telah lama diberlakukan, jauh sebelum mereka bermukim di kaki Dolok Pusuk Buhit.
Cukup lama Raja Sori Mangaraja melakukan penataan sehingga kelompok ini mulai hidup secara teratur. Juga, pada zaman pemerintahan raja yang menggantikannya, yaitu Raja Sori Mangaraja II, kebesaran Raja Batak terkenal ke mana-mana. Akan tetapi, pada masa kekuasaan Sori Mangaraja III, ditemukan banyak perubahan menyangkut kehidupan orang Batak. Hal itu terjadi sebagai akibat dari perubahan komoditas yang diperdagangkan. Pada masa Raja Sori Mangaraja, kamfer dan kemenyaan merupakan komoditi andalan, pada masa Raja Sori Mangaraja III, komoditas tersebut telah berubah. Hal ini terjadi sejak Bani Saljuk menaklukkan Afrika Utara (Mesir) dan meng–Islamkannya. Sejak mereka menganut agama Islam, pengawetan mayat menjadi sesuatu yang dilarang menurut kepercayaan. Dan yang lebih mengubah hidup orang Batak ialah akibat ditutupnya jalur sutra sebagai akibat perang salib,  memaksa bangsa Eropa mencari sendiri rempah-rempah yang mereka butuhkan langsung ke sumbernya.
Pedagang yang tadinya singgah di Barus, beralih mencari rempah-rempah yang banyak dihasilkan dari bumi Aceh. Pada awalnya, orang-orang              Aceh membawa hasil bumi mereka ke Barus. Akan tetapi, karena jarak tempuh yang terlalu jauh dan pajak yang dibebankan terlalu tinggi, mereka membuka suatu bandar di Singkil, Aceh Barat. Dengan dibukanya pelabuhan ini, Barus menjadi sepi. Perahu-perahu dagang, yang biasanya lego jangkar di Barus, mengalihkan layarnya ke pelabuhan Singkil. Pembukaan pelabuhan ini menimbulkan kemarahan Raja Batak. Mereka lalu menggempur Singkil dan menaklukkannya.
Setelah penaklukan tersebut, kemudian dicapai suatu kesepakatan yang menyatakan bahwa pelabuhan Singkil boleh dijalankan terus dengan syarat penyerahan upeti sebesar 200 ringgit¾mata uang Portugis¾setiap tahun. Sebagai jaminan untuk pelaksanaan perjanjian ini, selain menempatkan sejumlah pasukannya di Singkil, Raja Sori Mangaraja III mengawinkan puteranya yang tertua dengan seorang puteri Raja Aceh. Namun, walaupun perjanjian telah disepakati, orang-orang yang ditempatkan oleh Sori Mangaraja III di Singkil masih saja melakukan pungutan yang sangat memberatkan. Hal ini menyebabkan penduduk Aceh menjadi dendam dan karena tidak tahan dengan perlakuan seperti itu, diam-diam mereka mengirim satu rombongan ke Turki untuk meminta bantuan.
Konon, rombongan tersebut terdiri atas empat perahu layar yang penuh dengan lada, yang akan dipersembahkan kepada sultan Turki. Karena perjalanan yang sangat  berat akibat hantaman gelombang laut yang dahsyat dan menghadapi berbagai rintangan di jalan, lada yang tadinya sebanyak empat perahu layar,  tinggal hanya secupak. Cerita lada secupak sebagai “tipu”              gaya Aceh, dikenang hingga kini, karena “meriam lada secupak” yang dihadiahkan oleh sultan Turki sampai sekarang  masih tersimpan dengan baik di museum Aceh.
Seorang ahli sejarah Turki yang bernama Saffat Bey, dalam tulisannya yang berjudul Bir Osmanli Filosunun Sumatera Saferi, mengungkapkan adanya firman Sultan Selim II dari Turki, tertanggal 16 Rabiulawal 975 H, yang menyambut positif permintaan sultan Aceh yang dibawa oleh utusannya yang bernama Husin. Atas permohonan sultan Aceh, Sultan Selim II                memberangkatkan Laksamana Oglu Hizir, bersama 15 kadirqa dan dua bark bersama tujuh ahli meriam dengan tujuan untuk mengganyang musuh Aceh,          mempertahankan agama Islam, dan merampas benteng-benteng kafir.
Kedatangan rombongan ini sebenarnya merupakan berkah untuk sultan Turki. Kekalahannya pada Perang Salib ingin ditebusnya di Timur dengan memerangi Portugis di Malaka. Aceh dijadikan sebagai kuda tunggangan,    tanpa melanggar kesepakatan para kalifah. Dahulu ada kesepakatan bahwa          Sultan Turki hanya dibenarkan melakukan siar Islam ke arah Barat (Eropa),    sedangkan pengislaman wilayah Timur adalah hak negara-negara Arab.
Rupanya perjalanan ini tercium oleh Sori Mangaraja. Untuk mengantipasi keadaan, Sori Mangaraja mengirimkan utusan ke Malaka untuk menghadap Pedro de Faria, penguasa Portugis di Malaka. Maksudnya ialah untuk     meminta bantuan dalam menghadapi ancaman dari Aceh. Mendez Pinto    dalam tulisannya menuliskan hal tersebut sebagai berikut:
Diceritakannya bahwa utusan Raja Batak telah datang ke Malaka menemui Gubernur Portugis Pedro de Faria untuk meminta bantuan Portugis menghadapi serangan Aceh. Dalam pertemuan itu, kata Pedro, telah ditanyakan sebab-sebab perkelahian pihak Batak dengan Aceh, yang oleh utusan itu diceritakan, bahwa Aceh ingin memaksanya masuk Islam dan bahwa dia menentang paksaan oleh karena itu terjadi peperangan. Dalam peperangan ini utusan tersebut mengatakan bahwa pihak Batak memperoleh kemenangan tetapi sementara itu diadakan pula perdamaian. Menurut Pinto, utusan itu mengatakan bahwa pihak Batak bersedia berdamai dengan Aceh dengan syarat bahwa Sultan Aceh membayar ganti kerugian sebanyak dua ratus ringgit uang Portugis. Di samping itu, puteri Aceh dikawinkan dengan putera tertua Raja Batak.”
Selanjutnya, dalam laporan tersebut, Mendez Pinto mengatakan:
“pasukan Portugis telah berangkat ke tempat tersebut, tetapi mereka pulang dengan  tangan hampa karena Raja Batak telah mati dan ketiga puteranya telah terbunuh.”
Mendez Pinto tidak menyebutkan lokasi kejadian secara jelas. Hal ini menyebabkan banyak yang menafsirkan bahwa kejadian tersebut berlangsung di kerajaan Timur Raya (Simalungun). Apabila kita melihat keberadaan kerajaan Timur Raya atau kerajaan-kerajaan lain di Sumatera, tidak satu pun dapat dianggap sebagai ancaman bagi Aceh yang memaksanya meminta bantuan kepada sultan Turki.
Dan bila kejadian itu kita hubungkan dengan tahun keberadaan Portugis di Malaka, sekitar tahun 1511, dan juga dengan laporan Marco Polo yang berkunjung ke Samudra dan Pasai pada tahun 1292 dimana menurut Marco Polo di tempat-tempat yang dikunjunginya hampir seluruhnya telah menganut agama Islam, maka alasan pertikaian diatas tidak masuk akal. Sebaliknya dengan orang Batak di Barus, walau sejak lama dimasuki berbagai agama, mulai dari Hindu, Kristen dan Islam, penduduk setempat masih tetap dengan keyakinan lamanya. Mendez Pinto sendiri melaporkan bahwa perang antara Aceh dan Batak berkobar karena masalah agama, karena Aceh memaksa orang-orang Batak memeluk agama Islam dan orang-orang Batak menolaknya. Dan sebaliknya pula laporan Husin  kepada Sultan Turki, merupakan satu pembenaran untuk masing-masing dalam meminta bantuan.  
Ada bukti yang meyakinkan bahwa orang Batak yang bermukim di Barus tetap berpegang teguh pada keyakinannya. Sudah sejak lama penduduk Barus menjalin hubungan dagang dengan pedagang-pedagang dari Arab yang memeluk agama Islam. Begitu pula, mereka telah lama melakukan    perdagangan dengan para pedagang dari Mesir yang beragama Kristen yang malah telah mempunyai gereja sendiri disana. Namun, mereka tidak pernah memeluk kedua agama ini dan mereka sangat kokoh memegang keyakinan mereka yang banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Hinduisme. Bahwa di kemudian hari, banyak penduduk Barus terutama yang tinggal di pinggir-pinggir pantai,  memeluk agama Islam, hal itu terjadi  setelah wilayah ini cukup lama berada di bawah kekuasaan sultan Aceh.
Bahwa keduanya, baik sultan Aceh maupun Sori Mangaraja, menjadikan agama sebagai sesuatu yang dipertentangkan tentu dimaksudkan untuk dapat dengan mudah meminta bantuan. Alasan agama dijadikan oleh sultan Aceh untuk menarik bantuan dari Turki, sama seperti Sori Mangaraja, dengan menghadap penguasa Portugis di Malaka. Bahwa ada alasan lain yang sebenarnya, yaitu pertentangan antara Sultan Aceh dengan Sori Mangaraja sebagai akibat dari pembukaan pelabuhan Singkil, sama sekali tidak pernah dikemukakan.
Sultan Aceh mendapat bantuan yang sangat besar dari sultan Turki. Di samping meriam, mereka juga dibantu oleh ratusan pasukan yang telah berpengalaman dalam berbagai perang. Dengan bantuan pasukan Turki ini, pasukan Aceh menjadi sangat kuat. Sebagai uji-coba, pertama-tama mereka menyerbu Singkil dengan bombardir meriam. Serangan ini menyebabkan orang Batak yang bermukim di sana melarikan diri (gayur¾lari cepat) ke pedalaman. Ditengarai bahwa dari perkataan gayur inilah asal-mula mengapa orang Aceh menyebut diri sebagai orang Gayo hingga saat ini.
Pelabuhan Singkil sepenuhnya kembali dapat dikuasai pasukan Aceh. Pasukan pengawal yang tadinya ditempatkan Raja Batak di sana seluruhnya ditumpas dan hanya sekitar puluhan orang berhasil menyelamatkan diri. Mereka melarikan diri ke pedalaman hutan yang gelap dan hidup dengan berpindah-pindah. Setelah merasa aman, mereka kemudian mendirikan perkampungan. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi leluhur puak Gayo dan Alas yang sekarang kita kenal.
Jatuhnya Singkil menyebabkan semangat Aceh untuk menyerang Barus makin berkobar. Setelah beristirahat dan mengisi perbekalan dan air minum, armada perang Aceh berangkat menuju Barus. Kabar kejatuhan Singkil sebelumnya dengan cepat telah sampai ke telinga Sori Mangaraja. Dia sudah yakin bahwa, setelah menaklukkan Singkil, armada perang Aceh akan menggempur Barus dan ternyata dugaan tersebut pun terbukti.
Karena sadar bahwa pasukannya akan sulit memenangkan perang, sementara bantuan yang diharapkan dari Pedro de Faria tidak kunjung tiba, Sori Mangaraja memanggil panglima perangnya, Tatea. Dia diberi tugas untuk menyelamatkan seorang anak kecil bersama ibunya, bersama sejumlah barang pusaka kerajaan. Anak kecil ini adalah cucunya yang diharapkan akan menjadi penerus keturunannya kelak. Cucunya adalah putera satu-satunya dari  anak pertamanya,  yang dikawinkan dengan puteri raja Aceh.
Tatea menerima tugas itu dengan penuh tanggung jawab, walaupun dia tidak tahu ke mana  dia  akan membawa ibu dan anaknya yang masih kecil tersebut. Dia hanya bertekad untuk membawa ibu dan anaknya tersebut jauh dari bahaya yang mengancam mereka. Mereka kemudian diberangkatkan bersama sejumlah pasukan pengawal dan perbekalan yang dibutuhkan. Namun, sebelum berangkat, Tatea disumpah (marbulan) untuk melaksanakan tugasnya sebaik yang dia mampu. Inilah awal nama Tatea diberi imbuhan                    Bulan sehingga dia bernama lengkap Tatea Bulan.
Tatea bersama sejumlah pasukan pengawal, setelah melewati perjalanan yang sangat melelahkan, akhirnya tiba di suatu dataran yang sekarang       dikenal dengan nama Tele. Di tempat ini mereka beristirahat, sebelum menentukan ke arah mana mereka akan menuju. Setelah mengadakan tinjauan di sekitarnya, akhirnya Tatea memutuskan untuk menuruni suatu lembah yang terjal hingga tiba di suatu tempat yang kemudian menjadi tempat mereka mendirikan perkampungan. Di luar rombongan ini ada juga yang berupaya untuk menyelamatkan diri, yang terdiri atas saudagar-saudagar dan pemimpin agama yang bercampur-baur dengan rakyat biasa. Mereka melarikan diri lewat Sungai Simpang Kiri  dan mendaki suatu dataran tinggi yang sekarang dikenal sebagai Dataran Tinggi Karo. Mereka adalah leluhur puak Karo dan Puak Pakpak.
Sementara itu, sebelum melakukan pendaratan, armada perang Aceh memborbardir pantai Barus hingga pelabuhan tersebut hancur. Rakyat     terkejut mendengar suara-suara menggelegar yang keluar dari dari laras meriam, suara yang belum pernah dengar sebelumnya, kecuali suara guntur dari langit. Karena ketakutan, mereka melarikan diri. Sori Mangaraja bersama pasukan tetap bertahan. Setelah musuh mendarat, mereka disongsong pasukan yang dipimpin oleh putera Sori Mangaraja. Terjadilah perang yang              sangat mengerikan. Tombak melawan tombak dan pedang melawan pedang.        Putera-putera Sori Mangaraja akhirnya gugur. Tidak ada pilihan lain. Sori        Mangaraja akhirnya turun langsung memimpin pertempuran. Setelah mengkonsolidasi pasukannya, dia langsung memimpin perlawanan hingga akhirnya tewas. Ratusan pasukan yang tersisa dijadikan tawanan dan dibawa   ke Aceh Besar. Ditengarai bahwa komunitas orang Batak yang pernah               bermukim di Lambaid (VI Mukim) adalah orang-orang Batak yang tertawan                          dan dipekerjakan di istana sultan Aceh. Mereka dikenal sebagai suku Leh                                     Ratus (Tiga Ratus) yaitu jumlah mereka yang tertawan.
Keberhasilannya menaklukkan Raja Batak di Barus menyebabkan Sultan Alaudin Ri’ayatsyah yang menjadi sultan Aceh pada masa itu menjadi sangat jumawa. Kesultanan Deli hanya karena ingin mempersunting seorang putri (hijau) juga di serbu. Kesultanan Siak (Indragiri) dan  Kesultanan Pariaman di Tanah Minangkabau juga  ditaklukkan. Akan tetapi, setelah Sultan Alaudin Ri’ayatsyah mangkat, Kesultanan Aceh mulai meredup. Hal ini terjadi karena, setelah kematian Sultan Alaudin, anggota-anggota keluarganya saling berebut kekuasaan dan bahkan ada yang meninggal karena diracun. Dengan maksud untuk mengembalikan kejayaan leluhurnya, seorang penggantinya menabalkan diri sebagai raja dengan nama Sultan Alaudin Ri’ayatsyah II. Untuk lebih menakutkan di telinga orang lain, namanya diberi embel-embel seluruh negeri yang telah ditaklukkannya. Karena itu, dia akhirnya bergelar Sultan Alaudin Ri’ayatsyah Raja Barus/Maharaja Batak, Raja Negeri Pedir dan Pasai, Pangeran Lumbung Emas Minangkabau, Penakluk Negeri Haru. Bahkan, dengan menggunakan segala gelar tersebut, Sultan Alaudin mengirim surat kepada sultan Johor. Dia meminta sultan Johor untuk langsung takluk kepadanya karena, dengan alasan sesama penganut agama Islam, dia tidak boleh memeranginya. Surat itu kemudian menjadi awal perang antara sultan Aceh dan penjajah Portugis di Malaka. Pasukannya mencoba untuk merebut Malaka, tetapi selalu berakhir dengan sia-sia. Perang melawan Portugis ini dilakukan berkali-kali hingga menguras harta-kekayaan Kesultanan Aceh yang tadinya terkenal kaya-raya.
Masa kejayaan Kesultanan Aceh sepertinya akan berakhir. Namun, kemudian tiba suatu masa ketika Kesultanan Aceh ini diperintah oleh seorang sultan yang bernama Iskandar Muda, putera Sultan Al-Mukammal dari isterinya yang berasal dari puteri sultan Pariaman dari Minangkabau. Semasa kecil, Iskandar Muda bernama Darma Wangsa Perkasa Alam. Darma Wangsa adalah orang yang ambisius. Ketika Sultan Alaudin Ri’ayatsyah II mangkat pada tahun 1604, dia masuk ke istana dan langsung duduk di kursi sultan. Hal itu menimbulkan kehebohan. Namun, berkat dukungan orang-orang dalam istana, akhirnya dia dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Iskandar Muda. Di tangannya, kebesaran Kesultanan Aceh mulai bersinar karena dia banyak mengikat tali persahabatan dengan negara-negara luar.

0 komentar:

Posting Komentar