ketika Paus Urbanus pada 25 Nopember 1095 menyerukan agar seluruh penduduk Eropa bersatu
untuk mengusir Turki Saljuk dari Jerusalem, kita tidak pernah tahu
bahwa seruan tersebut berpengaruh besar dalam kehidupan hampir ¾ belahan
dunia.
Seruan
Paus itu begitu besar pengaruhnya, sehingga bangsa-bangsa Eropa, mulai
dari para bangsawan, para kesatria, para pedagang dan rakyat kecil
menghentikan perang diantara sesamanya dan bagaikan gelombang laut
datang menyerbu Jerusalem. “Perang suci” itu diperkirakan tidak memakan
waktu lama. Ternyata dugaan meleset jauh, perang berlangsung begitu lama, (1096-1297), menelan ratusan ribu nyawa dan harta benda yang tidak terhingga.
Salah satu akibatnya yang menyangkut hidup orang Batak. Sebagai akibat ditutupnya jalur sutera bagi pedagang-pedagang Eropa, komoditi yang berasal dari Hindia Timur yang selama ini mereka peroleh dari pedagang-pedagang
Arab menjadi hilang. Untuk itu, mereka terpaksa mencarinya sendiri ke
Hindia Timur dan salah satunya ialah lewat jalur laut. Buku IL MILLIONE karya Marco Polo yang memuat kisah perjalanan Marco Polo ke tanah Hindia, menjadi buku yang laris manis, diterjemahkan dalam berbagai bahasa, karena dalam buku ini dijelaskan secara terperinci perjalanan Marco Polo, mulai dari jalur sutera, hingga sampai ke China dan kepulangannya
lewat jalur laut kembali ke Eropa (Venice). Buku inilah yang mengilhami
pelaut-pelaut Spanyol, Portugis, Inggeris dan Belanda, mengarungi lautan untuk mencari rempah-rempah yang banyak dibutuhkan oleh bangsa-bangsa di Eropa.
Dalam
pelayaran ke Hindia Timur lewat Tanjung Pengharapan, mereka melewati
Samudra Hindia yang terkenal dengan ombaknya yang sangat ganas, apalagi
bila bertepatan dengan berhembusnya angin monsoon. Karena deraan ombak
yang ganas ini para pelaut membutuhkan satu tempat untuk istirahat dan
sekaligus mencari persediaan air tawar. Pelaut-pelaut dari Inggeris
menemukannya di sebuah pulau yang sekarang kita kenal dengan Ceylon.
Mereka meng-aneksasi pulau ini dan disepanjang pantai didirikan loji
(benteng). Inilah awal Inggeris menjajah Ceylon yang
dahulunya bernama Colamandala (Coromandel), sehingga hubungan negeri ini
dengan pedagang-pedagang dari India Selatan yang ada di
Barus menjadi terputus. Hal yang sama dilakukan oleh oleh pelaut-pelaut
Belanda setiba di Teluk Jakarta. Sejumlah loji didirikan untuk menghalau
pelaut-pelaut asing bila mencoba mendarat di teluk Jakarta. Dan
penjajahan Belanda atas Nusantara dimulai dari pendirian loji tersebut.
Barus,
sudah lama menjalin hubungan dengan Kerajaan Colamandala, suatu
kerajaan yang lebih dikenal dengan nama Coromandel atau Seilon (Ceylon)
sekarang. Kerajaan ini terletak di India Selatan dan didirikan oleh
Rajadhiraja I. Dahulu pelabuhan laut di Colamandala sangat ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Arab, Parsi, Gujarat dan Cina. Dari sana mereka membawa dagangan mereka ke Timur Tengah dan juga ke Afrika
khususnya Mesir. Ketika Rajendra Coladewa menjadi penguasa di
Coromandel, untuk memastikan pasokan komoditas dari Nusantara, dia
mengirimkan armada untuk melakukan penyerangan terhadap kerajaan
Sriwijaya. Barus, sebagai kota pelabuhan, juga ikut diserang. Karena
tujuan utamanya hanyalah untuk mengamankan lalu-lintas perdagangan ke
India Selatan, tidak satu pun wilayah yang diserangnya ini dirusak atau
dikuasai. Mereka lebih banyak menempatkan pedagang-pedagang di
daerah-daerah pelabuhan tersebut dengan maksud untuk mengumpulkan
sejumlah komoditas yang akan dikirimkan ke Colamandala.
Akan tetapi, kerajaan Colamandala kemudian ditaklukkan oleh Inggris. Hal
ini menyebabkan hubungan pedagang-pedagang dari India Selatan ini
terputus dengan negeri leluhurnya. Karena takut pulang, mereka memilih hidup
bersama dengan penduduk pribumi di Barus. Sementara itu, seorang primus
orang Batak di Barus ditabalkan menjadi raja dengan gelar Sori
Mangaraja. Sori Mangaraja lebih berfungsi menetapkan aturan-aturan yang
dimusyawarahkan bersama primus-primus lain. Orang-orang Tamil sendiri
lebih memilih untuk menjadi guru yang memberi
nasihat-nasihat kepada Sori Mangaraja. Gelar “raja” yang diberikan
kepada Sori Mangaraja ini diadaptasi dari gelar sri maharaj yang lazim digunakan di Colamandala.
Untuk melengkapi gelar yang diberikan, kepada raja diberikan suatu keris berhulu kepala gajah (ganesha sebagai lambang kebijaksanaan) yang dikenal dengan nama piso gaja dompak. Sebagai mahkota, diberikan ikat kepala diberi nama sende huliman. Pakaian kebesaran, diberi ulos yang terbuat dari sutera yang bernama tumtuman sutora malam. Juga sebuah tombak diberikan sebagai senjata, dengan nama sitonggo mual. Untuk tempat duduk sang raja, diberikan satu tikar berlapis tujuh, yang lapis ketujuhnya dibalut emas (kaomasan).
Raja
Sori Mangaraja mulai memberlakukan banyak aturan bagi orang-orang yang
berdagang di Barus. Untuk setiap barang yang diperdagangkan dikenakan pajak. Begitu pula, tempat-tempat berdagang dikenai pajak bumi yang dahulu dikenal dengan nama tombuk tano.
Aturan-aturan lain juga diberlakukan, termasuk yang menyangkut hubungan
antar-kelompok yang diatur melalui perkawinan. Adanya larangan
perkawinan dalam satu kelompok, menyebabkan terciptanya satu pola perkawinan (marriage pattern), dimana perkawinan yang ideal adalah antara putera seorang ibu, dengan anak perempuan saudara laki-lakinya (mother’s brother daughter to, brother’s mother son marriage – perkawinan antara seorang puteri
dengan putera saudara perempuan ayah). Lewat perkawinan ini, terjalin
satu hubungan antara clan pemberi anak perempuan (hula-hula) dan clan
penerima anak perempuan (boru)- satu hubungan yang asymmetrical comnubium. Hubungan ini berkembang, menjadi suatu sistem kekerabatan dan untuk menjaga agar hubungan antar-kelompok berjalan dengan harmonis, diciptakan berbagai ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing kelompok.
Aturan-aturan ini berpedoman pada suatu pola, yang disebut sebagai dalihan na tolu. Sistem kekerabatan yang tercipta akibat perkawinan ini dipegang kuat oleh seluruh puak Batak dimanapun dia berada dan puak apapun dia. Inilah yang menjadi suatu missing link (mata
rantai terputus) yang selama ini belum pernah terpecahkan: Mengapa
seluruh puak-puak Batak menganut sistem kekerabatan yang sama, apakah
dia puak Toba, Mandailing, Karo, Pakpak dan Simalungun. Dipastikan bahwa
seluruh puak Batak, karena diikat oleh prinsip kekerabatan yang sama,
mempunyai satu garis keturunan yang sama. Tetapi, pada generasi ke
berapa dan kapankah sesungguhnya puak-puak Batak ini berpisah dan menjadi puak-puak tersendiri ?
Dengan kata lain, walapun seluruh puak Batak menganut sistem kekerabatan yang sama yaitu dalihan na tolu, yang pada masing-masing puak diucapkan berbeda, mereka tidak
dapat menjelaskan sejak kapan aturan-aturan ini diberlakukan. Orang
hanya tahu akibat pelanggaran terhadap aturan tersebut dari berbagai
cerita, seperti cerita tentang Si Porang ni Aji yang menjadi batu ngungu (batu bisu) di Dolok Imun atau cerita tentang Si Aji Donda Hatahutan yang menjadi tongkat tunggal panaluan.
Keduanya adalah contoh, akibat yang dialami seseorang yang melakukan
pelanggaran terhadap aturan perkawinan dengan melakukan perkawinan
sedarah (incest), yang sangat dilarang oleh prinsip dalihan na tolu.
Karena itu, ketika Sariburaja terusir dari dari Sianjur Mula-mula dan
Inar Naiborngin terusir dari Si Ogung-ogung, hal itu terjadi karena
aturan yang melarang perkawinan dalam kelompok sendiri telah lama
diberlakukan, jauh sebelum mereka bermukim di kaki Dolok Pusuk Buhit.
Cukup
lama Raja Sori Mangaraja melakukan penataan sehingga kelompok ini mulai
hidup secara teratur. Juga, pada zaman pemerintahan raja yang
menggantikannya, yaitu Raja Sori Mangaraja II, kebesaran Raja Batak
terkenal ke mana-mana. Akan tetapi, pada masa kekuasaan Sori Mangaraja
III, ditemukan banyak perubahan menyangkut kehidupan orang Batak. Hal
itu terjadi sebagai akibat dari perubahan komoditas yang diperdagangkan.
Pada masa Raja Sori Mangaraja, kamfer dan kemenyaan merupakan komoditi
andalan, pada masa Raja Sori Mangaraja III, komoditas tersebut telah
berubah. Hal ini terjadi sejak Bani Saljuk menaklukkan Afrika Utara
(Mesir) dan meng–Islamkannya. Sejak mereka menganut agama Islam,
pengawetan mayat menjadi sesuatu yang dilarang menurut kepercayaan. Dan
yang lebih mengubah hidup orang Batak ialah akibat ditutupnya jalur
sutra sebagai akibat perang salib, memaksa bangsa Eropa mencari sendiri rempah-rempah yang mereka butuhkan langsung ke sumbernya.
Pedagang
yang tadinya singgah di Barus, beralih mencari rempah-rempah yang
banyak dihasilkan dari bumi Aceh. Pada awalnya, orang-orang Aceh
membawa hasil bumi mereka ke Barus. Akan tetapi, karena jarak tempuh
yang terlalu jauh dan pajak yang dibebankan terlalu tinggi, mereka
membuka suatu bandar di Singkil, Aceh Barat. Dengan dibukanya pelabuhan
ini, Barus menjadi sepi. Perahu-perahu dagang, yang biasanya lego
jangkar di Barus, mengalihkan layarnya ke pelabuhan Singkil. Pembukaan
pelabuhan ini menimbulkan kemarahan Raja Batak. Mereka lalu menggempur
Singkil dan menaklukkannya.
Setelah
penaklukan tersebut, kemudian dicapai suatu kesepakatan yang menyatakan
bahwa pelabuhan Singkil boleh dijalankan terus dengan syarat penyerahan
upeti sebesar 200 ringgit¾mata uang Portugis¾setiap
tahun. Sebagai jaminan untuk pelaksanaan perjanjian ini, selain
menempatkan sejumlah pasukannya di Singkil, Raja Sori Mangaraja III
mengawinkan puteranya yang tertua dengan seorang puteri Raja Aceh.
Namun, walaupun perjanjian telah disepakati, orang-orang yang
ditempatkan oleh Sori Mangaraja III di Singkil masih saja melakukan
pungutan yang sangat memberatkan. Hal ini menyebabkan penduduk Aceh
menjadi dendam dan karena tidak tahan dengan perlakuan seperti itu,
diam-diam mereka mengirim satu rombongan ke Turki untuk meminta bantuan.
Konon,
rombongan tersebut terdiri atas empat perahu layar yang penuh dengan
lada, yang akan dipersembahkan kepada sultan Turki. Karena perjalanan
yang sangat berat akibat hantaman gelombang laut yang dahsyat dan menghadapi berbagai rintangan di jalan, lada yang tadinya sebanyak empat perahu layar, tinggal hanya secupak. Cerita lada secupak sebagai “tipu” gaya Aceh, dikenang hingga kini, karena “meriam lada secupak” yang dihadiahkan oleh sultan Turki sampai sekarang masih tersimpan dengan baik di museum Aceh.
Seorang ahli sejarah Turki yang bernama Saffat Bey, dalam tulisannya yang berjudul Bir Osmanli Filosunun Sumatera Saferi,
mengungkapkan adanya firman Sultan Selim II dari Turki, tertanggal 16
Rabiulawal 975 H, yang menyambut positif permintaan sultan Aceh yang
dibawa oleh utusannya yang bernama Husin. Atas permohonan sultan Aceh,
Sultan Selim II memberangkatkan Laksamana Oglu Hizir, bersama 15 kadirqa dan dua bark bersama tujuh ahli meriam dengan tujuan untuk mengganyang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam, dan merampas benteng-benteng kafir.
Kedatangan
rombongan ini sebenarnya merupakan berkah untuk sultan Turki.
Kekalahannya pada Perang Salib ingin ditebusnya di Timur dengan
memerangi Portugis di Malaka. Aceh dijadikan sebagai kuda tunggangan, tanpa melanggar kesepakatan para kalifah. Dahulu ada kesepakatan bahwa Sultan Turki hanya dibenarkan melakukan siar Islam ke arah Barat (Eropa), sedangkan pengislaman wilayah Timur adalah hak negara-negara Arab.
Rupanya
perjalanan ini tercium oleh Sori Mangaraja. Untuk mengantipasi keadaan,
Sori Mangaraja mengirimkan utusan ke Malaka untuk menghadap Pedro de
Faria, penguasa Portugis di Malaka. Maksudnya ialah untuk meminta bantuan dalam menghadapi ancaman dari Aceh. Mendez Pinto dalam tulisannya menuliskan hal tersebut sebagai berikut:
“Diceritakannya
bahwa utusan Raja Batak telah datang ke Malaka menemui Gubernur
Portugis Pedro de Faria untuk meminta bantuan Portugis menghadapi
serangan Aceh. Dalam pertemuan itu, kata Pedro, telah ditanyakan
sebab-sebab perkelahian pihak Batak dengan Aceh, yang oleh utusan itu
diceritakan, bahwa Aceh ingin memaksanya masuk Islam dan bahwa dia
menentang paksaan oleh karena itu terjadi peperangan. Dalam peperangan
ini utusan tersebut mengatakan bahwa pihak Batak memperoleh kemenangan
tetapi sementara itu diadakan pula perdamaian. Menurut Pinto, utusan itu
mengatakan bahwa pihak Batak bersedia berdamai dengan Aceh dengan
syarat bahwa Sultan Aceh membayar ganti kerugian sebanyak dua ratus
ringgit uang Portugis. Di samping itu, puteri Aceh dikawinkan dengan
putera tertua Raja Batak.”
Selanjutnya, dalam laporan tersebut, Mendez Pinto mengatakan:
“pasukan Portugis telah berangkat ke tempat tersebut, tetapi mereka pulang dengan tangan hampa karena Raja Batak telah mati dan ketiga puteranya telah terbunuh.”
Mendez
Pinto tidak menyebutkan lokasi kejadian secara jelas. Hal ini
menyebabkan banyak yang menafsirkan bahwa kejadian tersebut berlangsung
di kerajaan Timur Raya (Simalungun). Apabila kita melihat keberadaan
kerajaan Timur Raya atau kerajaan-kerajaan lain di Sumatera, tidak satu
pun dapat dianggap sebagai ancaman bagi Aceh yang memaksanya meminta
bantuan kepada sultan Turki.
Dan
bila kejadian itu kita hubungkan dengan tahun keberadaan Portugis di
Malaka, sekitar tahun 1511, dan juga dengan laporan Marco Polo yang
berkunjung ke Samudra dan Pasai pada tahun 1292 dimana menurut Marco
Polo di tempat-tempat yang dikunjunginya hampir seluruhnya telah
menganut agama Islam, maka alasan pertikaian diatas tidak masuk akal.
Sebaliknya dengan orang Batak di Barus, walau sejak lama dimasuki
berbagai agama, mulai dari Hindu, Kristen dan Islam, penduduk setempat
masih tetap dengan keyakinan lamanya. Mendez Pinto sendiri melaporkan
bahwa perang antara Aceh dan Batak berkobar karena masalah agama, karena
Aceh memaksa orang-orang Batak memeluk agama Islam dan orang-orang
Batak menolaknya. Dan sebaliknya pula laporan Husin kepada Sultan Turki, merupakan satu pembenaran untuk masing-masing dalam meminta bantuan.
Ada
bukti yang meyakinkan bahwa orang Batak yang bermukim di Barus tetap
berpegang teguh pada keyakinannya. Sudah sejak lama penduduk Barus
menjalin hubungan dagang dengan pedagang-pedagang dari Arab yang memeluk
agama Islam. Begitu pula, mereka telah lama melakukan perdagangan
dengan para pedagang dari Mesir yang beragama Kristen yang malah telah
mempunyai gereja sendiri disana. Namun, mereka tidak pernah memeluk
kedua agama ini dan mereka sangat kokoh memegang keyakinan mereka yang
banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur Hinduisme. Bahwa di kemudian hari,
banyak penduduk Barus terutama yang tinggal di pinggir-pinggir pantai, memeluk agama Islam, hal itu terjadi setelah wilayah ini cukup lama berada di bawah kekuasaan sultan Aceh.
Bahwa
keduanya, baik sultan Aceh maupun Sori Mangaraja, menjadikan agama
sebagai sesuatu yang dipertentangkan tentu dimaksudkan untuk dapat
dengan mudah meminta bantuan. Alasan agama dijadikan oleh sultan Aceh
untuk menarik bantuan dari Turki, sama seperti Sori Mangaraja, dengan
menghadap penguasa Portugis di Malaka. Bahwa ada alasan lain yang
sebenarnya, yaitu pertentangan antara Sultan Aceh dengan Sori Mangaraja
sebagai akibat dari pembukaan pelabuhan Singkil, sama sekali tidak
pernah dikemukakan.
Sultan
Aceh mendapat bantuan yang sangat besar dari sultan Turki. Di samping
meriam, mereka juga dibantu oleh ratusan pasukan yang telah
berpengalaman dalam berbagai perang. Dengan bantuan pasukan Turki ini,
pasukan Aceh menjadi sangat kuat. Sebagai uji-coba, pertama-tama mereka
menyerbu Singkil dengan bombardir meriam. Serangan ini menyebabkan orang
Batak yang bermukim di sana melarikan diri (gayur¾lari cepat) ke pedalaman. Ditengarai bahwa dari perkataan gayur inilah asal-mula mengapa orang Aceh menyebut diri sebagai orang Gayo hingga saat ini.
Pelabuhan
Singkil sepenuhnya kembali dapat dikuasai pasukan Aceh. Pasukan
pengawal yang tadinya ditempatkan Raja Batak di sana seluruhnya ditumpas
dan hanya sekitar puluhan orang berhasil menyelamatkan diri. Mereka
melarikan diri ke pedalaman hutan yang gelap dan hidup dengan
berpindah-pindah. Setelah merasa aman, mereka kemudian mendirikan
perkampungan. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi leluhur puak Gayo
dan Alas yang sekarang kita kenal.
Jatuhnya
Singkil menyebabkan semangat Aceh untuk menyerang Barus makin berkobar.
Setelah beristirahat dan mengisi perbekalan dan air minum, armada
perang Aceh berangkat menuju Barus. Kabar kejatuhan Singkil sebelumnya
dengan cepat telah sampai ke telinga Sori Mangaraja. Dia sudah yakin
bahwa, setelah menaklukkan Singkil, armada perang Aceh akan menggempur
Barus dan ternyata dugaan tersebut pun terbukti.
Karena
sadar bahwa pasukannya akan sulit memenangkan perang, sementara bantuan
yang diharapkan dari Pedro de Faria tidak kunjung tiba, Sori Mangaraja
memanggil panglima perangnya, Tatea. Dia diberi tugas untuk
menyelamatkan seorang anak kecil bersama ibunya, bersama sejumlah barang
pusaka kerajaan. Anak kecil ini adalah cucunya yang diharapkan akan
menjadi penerus keturunannya kelak. Cucunya adalah putera satu-satunya
dari anak pertamanya, yang dikawinkan dengan puteri raja Aceh.
Tatea menerima tugas itu dengan penuh tanggung jawab, walaupun dia tidak tahu ke mana dia akan
membawa ibu dan anaknya yang masih kecil tersebut. Dia hanya bertekad
untuk membawa ibu dan anaknya tersebut jauh dari bahaya yang mengancam
mereka. Mereka kemudian diberangkatkan bersama sejumlah pasukan pengawal
dan perbekalan yang dibutuhkan. Namun, sebelum berangkat, Tatea
disumpah (marbulan) untuk melaksanakan tugasnya sebaik yang dia mampu. Inilah awal nama Tatea diberi imbuhan Bulan sehingga dia bernama lengkap Tatea Bulan.
Tatea
bersama sejumlah pasukan pengawal, setelah melewati perjalanan yang
sangat melelahkan, akhirnya tiba di suatu dataran yang sekarang dikenal
dengan nama Tele. Di tempat ini mereka beristirahat, sebelum menentukan
ke arah mana mereka akan menuju. Setelah mengadakan tinjauan di
sekitarnya, akhirnya Tatea memutuskan untuk menuruni suatu lembah yang
terjal hingga tiba di suatu tempat yang kemudian menjadi tempat mereka
mendirikan perkampungan. Di luar rombongan ini ada juga yang berupaya
untuk menyelamatkan diri, yang terdiri atas saudagar-saudagar dan
pemimpin agama yang bercampur-baur dengan rakyat biasa. Mereka melarikan
diri lewat Sungai Simpang Kiri dan mendaki suatu dataran
tinggi yang sekarang dikenal sebagai Dataran Tinggi Karo. Mereka adalah
leluhur puak Karo dan Puak Pakpak.
Sementara
itu, sebelum melakukan pendaratan, armada perang Aceh memborbardir
pantai Barus hingga pelabuhan tersebut hancur. Rakyat terkejut
mendengar suara-suara menggelegar yang keluar dari dari laras meriam,
suara yang belum pernah dengar sebelumnya, kecuali suara guntur dari
langit. Karena ketakutan, mereka melarikan diri. Sori Mangaraja bersama
pasukan tetap bertahan. Setelah musuh mendarat, mereka disongsong
pasukan yang dipimpin oleh putera Sori Mangaraja. Terjadilah perang yang
sangat mengerikan. Tombak melawan tombak dan pedang melawan pedang. Putera-putera Sori Mangaraja akhirnya gugur. Tidak ada pilihan lain. Sori Mangaraja
akhirnya turun langsung memimpin pertempuran. Setelah mengkonsolidasi
pasukannya, dia langsung memimpin perlawanan hingga akhirnya tewas.
Ratusan pasukan yang tersisa dijadikan tawanan dan dibawa ke Aceh Besar. Ditengarai bahwa komunitas orang Batak yang pernah bermukim di Lambaid (VI Mukim) adalah orang-orang Batak yang tertawan dan dipekerjakan di istana sultan Aceh. Mereka dikenal sebagai suku Leh Ratus (Tiga Ratus) yaitu jumlah mereka yang tertawan.
Keberhasilannya
menaklukkan Raja Batak di Barus menyebabkan Sultan Alaudin Ri’ayatsyah
yang menjadi sultan Aceh pada masa itu menjadi sangat jumawa. Kesultanan
Deli hanya karena ingin mempersunting seorang putri (hijau) juga di
serbu. Kesultanan Siak (Indragiri) dan Kesultanan Pariaman di Tanah Minangkabau juga ditaklukkan.
Akan tetapi, setelah Sultan Alaudin Ri’ayatsyah mangkat, Kesultanan
Aceh mulai meredup. Hal ini terjadi karena, setelah kematian Sultan
Alaudin, anggota-anggota keluarganya saling berebut kekuasaan dan bahkan
ada yang meninggal karena diracun. Dengan maksud untuk mengembalikan
kejayaan leluhurnya, seorang penggantinya menabalkan diri sebagai raja
dengan nama Sultan Alaudin Ri’ayatsyah II. Untuk lebih menakutkan di
telinga orang lain, namanya diberi embel-embel seluruh negeri yang telah
ditaklukkannya. Karena itu, dia akhirnya bergelar Sultan Alaudin
Ri’ayatsyah Raja Barus/Maharaja Batak, Raja Negeri Pedir dan Pasai,
Pangeran Lumbung Emas Minangkabau, Penakluk Negeri Haru. Bahkan, dengan
menggunakan segala gelar tersebut, Sultan Alaudin mengirim surat kepada
sultan Johor. Dia meminta sultan Johor untuk langsung takluk kepadanya
karena, dengan alasan sesama penganut agama Islam, dia tidak boleh
memeranginya. Surat itu kemudian menjadi awal perang antara sultan Aceh
dan penjajah Portugis di Malaka. Pasukannya mencoba untuk merebut
Malaka, tetapi selalu berakhir dengan sia-sia. Perang melawan Portugis
ini dilakukan berkali-kali hingga menguras harta-kekayaan Kesultanan
Aceh yang tadinya terkenal kaya-raya.
Masa
kejayaan Kesultanan Aceh sepertinya akan berakhir. Namun, kemudian tiba
suatu masa ketika Kesultanan Aceh ini diperintah oleh seorang sultan
yang bernama Iskandar Muda, putera Sultan Al-Mukammal dari isterinya
yang berasal dari puteri sultan Pariaman dari Minangkabau. Semasa kecil,
Iskandar Muda bernama Darma Wangsa Perkasa Alam. Darma Wangsa adalah
orang yang ambisius. Ketika Sultan Alaudin Ri’ayatsyah II mangkat pada
tahun 1604, dia masuk ke istana dan langsung duduk di kursi sultan. Hal
itu menimbulkan kehebohan. Namun, berkat dukungan orang-orang dalam
istana, akhirnya dia dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan
Iskandar Muda. Di tangannya, kebesaran Kesultanan Aceh mulai bersinar
karena dia banyak mengikat tali persahabatan dengan negara-negara luar.